Catatan harian
Setiap hari
Menugulur waktu
Mengulur waktu
Bikin alasan
Begini begitu
Pembenaran
Pembenaran
Membenarkan Diam
Di Kampus
Di Rumah
Di Pentas
Takut tidak
Membenarkan ya
ya
ya
kapan bebas ya
kapan berani tidak
Menugulur waktu
Mengulur waktu
Bikin alasan
Begini begitu
Pembenaran
Pembenaran
Membenarkan Diam
Di Kampus
Di Rumah
Di Pentas
Takut tidak
Membenarkan ya
ya
ya
kapan bebas ya
kapan berani tidak
Dokumen Kebijakan Penghapusan diskriminasiagama/keyakinan
Keberadaan regulasi yang secara komprehensif menjamin terlaksananya hak beragama/ berkeyakinan terasa semakin penting. Regulasi mana dapat memberikan kepastian hukum bagi seseorang dalam melaksanakan haknya atas beragama/ berkeyakinan.Laporan pemantauan kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia yang diterbitkan oleh SETARA Institute dan organisasi masyarakat sipil lainnya menunjukkan bahwa tingkat intoleransi, baik di masyarakat maupun di tubuh negara, melalui aparat negara, semakin menguat; sebaliknya, toleransi semakin melemah. Jumlah peristiwa pada tahun 2008 meningkat secara signifikan (367 tindakan dalam 265 peristiwa) dibanding peristiwa yang terdokumentasikan SETARA Institute pada tahun 2007, yang mencatat sejumlah 185 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dalam 135 peristiwa. Di tahun 2009, SETARA Institute mencatat 291 tindakan dalam 200 peristiwa. Tahun 2010, tercatat 286 tindakan dalam 216 peristiwa.
Secara konstitusional negara memiliki kewajiban untuk menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E, dan Pasal 29 UUD Negara RI 1945. Pemerintah juga telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, yang memberikan jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan [Pasal 18]. Semua jaminan ini terkikis oleh kecenderungan arus politik penyeragaman. Penyikapan komprehensif atas kecenderungan ini mutlak diperlukan untuk memastikan implementasi jaminan hak-hak konstitusional warga negara dan jaminan kebebasan sipil warga.
Pengikisan jaminan konstitusional kebebasan beragama/berkeyakinan merupakan pelanggaran hak asasi manusia, di mana negara dituntut untuk mempertanggung-jawabkannya dengan [1] mencabut produk perundang-undangan yang restriktif, [2] memproduk perundang-undangan yang kondusif, dan [3] memberikan reparasi dalam bentuk pemulihan hak-hak korban. Pada saat yang bersamaan, impunitas juga telah terjadi akibat tidak adanya landasan hukum untuk mengkriminalisasi praktik-praktik intoleransi dan diskriminasi agama/keyakinan.
Selain dalam kerangka tanggung jawab negara untuk memproduk perundang-undangan yang kondusif, sejumlah produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah saat ini tengah menghadapi ujian serius di tingkat implementasinya dan menuntut pembaruan/revisi. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 08 dan No. 09/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Pendirian Rumah Ibadat; dan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 Tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat adalah dua jenis produk hukum yang menjadi landasan operasional implementasi kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia.
Pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 dianggap konstitusional hingga terdapat produk perundang-undangan yang lebih komprehensif pada 2010, sesungguhnya pemerintah dan/atau DPR RI memiliki tugas lanjutan yaitu melakukan executive review atau legislative review untuk menyempurnakan model pengaturan kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia yang lebih baik. Secara eksplisit Putusan Mahkamah Konstitusi mengakui bahwa UU No.1/PNPS/1965 nyata-nyata mengidap persoalan, dan untuk itu harus ada upaya legislasi lanjutan.
Atas alasan di atas, keberadaan regulasi yang secara komprehensif menjamin terlaksananya hak beragama/berkeyakinan menjadi semakin penting. Regulasi mana dapat memberikan kepastian hukum bagi seseorang dalam melaksanakan haknya atas beragama/berkeyakinan. www.setara-institute.org
Secara konstitusional negara memiliki kewajiban untuk menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E, dan Pasal 29 UUD Negara RI 1945. Pemerintah juga telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, yang memberikan jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan [Pasal 18]. Semua jaminan ini terkikis oleh kecenderungan arus politik penyeragaman. Penyikapan komprehensif atas kecenderungan ini mutlak diperlukan untuk memastikan implementasi jaminan hak-hak konstitusional warga negara dan jaminan kebebasan sipil warga.
Pengikisan jaminan konstitusional kebebasan beragama/berkeyakinan merupakan pelanggaran hak asasi manusia, di mana negara dituntut untuk mempertanggung-jawabkannya dengan [1] mencabut produk perundang-undangan yang restriktif, [2] memproduk perundang-undangan yang kondusif, dan [3] memberikan reparasi dalam bentuk pemulihan hak-hak korban. Pada saat yang bersamaan, impunitas juga telah terjadi akibat tidak adanya landasan hukum untuk mengkriminalisasi praktik-praktik intoleransi dan diskriminasi agama/keyakinan.
Selain dalam kerangka tanggung jawab negara untuk memproduk perundang-undangan yang kondusif, sejumlah produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah saat ini tengah menghadapi ujian serius di tingkat implementasinya dan menuntut pembaruan/revisi. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 08 dan No. 09/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Pendirian Rumah Ibadat; dan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 Tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat adalah dua jenis produk hukum yang menjadi landasan operasional implementasi kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia.
Pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 dianggap konstitusional hingga terdapat produk perundang-undangan yang lebih komprehensif pada 2010, sesungguhnya pemerintah dan/atau DPR RI memiliki tugas lanjutan yaitu melakukan executive review atau legislative review untuk menyempurnakan model pengaturan kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia yang lebih baik. Secara eksplisit Putusan Mahkamah Konstitusi mengakui bahwa UU No.1/PNPS/1965 nyata-nyata mengidap persoalan, dan untuk itu harus ada upaya legislasi lanjutan.
Atas alasan di atas, keberadaan regulasi yang secara komprehensif menjamin terlaksananya hak beragama/berkeyakinan menjadi semakin penting. Regulasi mana dapat memberikan kepastian hukum bagi seseorang dalam melaksanakan haknya atas beragama/berkeyakinan. www.setara-institute.org
120129-dokumen_kebijakan_penghapusan_diskriminasi_2011.pdf | |
File Size: | 827 kb |
File Type: |
Ringkasan Eksekutif dan Laporan Awal Survei Nasional Kedua :
Masalah dan Pilihan Demokrasi di Indonesia
executif_report_2007_indonesia___revisi_318500166.pdf | |
File Size: | 881 kb |
File Type: |
Strategi Perlawanan Petani Tambang Tradisional dalam Menjaga Kelangsungan Hidup Ditengah Rendahnya Imbal Jasa
Kontroversi Kenaikan Harga BBM
Oleh: Kwik Kian Gie
Sumber :http://kwikkiangie.com
rincian_perhitungan_bbm_maret_2012.pdf | |
File Size: | 81 kb |
File Type: |
perhitungan_bbm_anggito.pdf | |
File Size: | 238 kb |
File Type: |
perhitungan_bbm_anthony.pdf | |
File Size: | 248 kb |
File Type: |
Ahmadiyah dan Keindonesiaan Kita
Ragam wajah diskriminasi yang menimpa kelompokkelompok minoritas di Indonesia semakin hari bukannya semakin berkurang tapi justru menunjukkan eskalasi yang serius. Faktafakta intoleransi telah dipotret oleh banyak institusi dan sebagian diantaranya diakui oleh pemerintah. Diskriminasi bukan hanya dilakukan oleh aktor-aktor non negara yang berujung pada kekerasan, tapi juga dilegitimasi oleh negara melalui produkproduk hukum yang diskriminatif dan dengan membiarkan setiap kekerasan yang menimpa kelompok-kelompok minoritas nyaris tidak terhukum.Pada 6 Februari 2011 lalu, di Cikeusik, Pandeglang, Banten, terjadi peristiwa yang paling serius menyasar pengikut Ahmadiyah. Komunitas keagamaan yang dalam beberapa tahun terakhir paling sering mendapat perlakuan diskriminatif dan kekerasan. Kejahatan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok intoleranyangberakibatkan kematian sadis ini tidak mendapat penanganan hukum serius aparat penegak hukum. Suara yang mengklaim sebagai representasi publik tampaknya cukup efektif menekan aparat penegak hukum untuk berlaku tidak adil. Padahal apa yang disebut dengan “representasi suara publik” tidaklah otentik sebagai suara publik yang sesungguhnya, karena silent mayority justru bersikap berbeda dari kelompok-kelompok intoleran yang selama ini melakukan kekerasan terhadap Ahmadiyah. Ini terbukti dari dari temuan di lapangan melalui survei opini publik yang dipaparkan dalam buku ini. Meskipun ajarankeagamaan Ahmadiyah dalam pandangan sebagian besar masyarakat Indonesia adalah berbeda dengan keyakinan mereka tetapi mereka bisa menerima keberadaan komunitas Ahmadiyah sebagai sesama warga negara.
Terbitan Pustaka Masyarakat Setara yang berjudul Ahmadiyah dan Keindonesiaan Kita adalah buku yang ditulis berdasarkan hasil survei dengan pendekatan kuantitatif di 10 propinsi di Indonesia. Selain berdasarkan survei opini publik, buku ini dilengkapi dengan kajian kualitatif baik bersumber pada dokumen-dokumen relevan maupun pengumpulan informasi melalui wawancara.
Laporan ini menyajikan cara pandangbagaimana kita seharusnya sebagai sesama bangsa bersikap atas berbagai perbedaan agama. Titik tolak bahwa setiap orang adalah saudara sebangsa adalah cara cerdas kita menyikapi fakta keberagaman. Toleran atas beragam kemajemukan merupakan kebutuhan kita untuk terus merawat diri dalam sebuah bangsa. Jakarta, September 2011
Sumber: www.Setara-institute.org
Terbitan Pustaka Masyarakat Setara yang berjudul Ahmadiyah dan Keindonesiaan Kita adalah buku yang ditulis berdasarkan hasil survei dengan pendekatan kuantitatif di 10 propinsi di Indonesia. Selain berdasarkan survei opini publik, buku ini dilengkapi dengan kajian kualitatif baik bersumber pada dokumen-dokumen relevan maupun pengumpulan informasi melalui wawancara.
Laporan ini menyajikan cara pandangbagaimana kita seharusnya sebagai sesama bangsa bersikap atas berbagai perbedaan agama. Titik tolak bahwa setiap orang adalah saudara sebangsa adalah cara cerdas kita menyikapi fakta keberagaman. Toleran atas beragam kemajemukan merupakan kebutuhan kita untuk terus merawat diri dalam sebuah bangsa. Jakarta, September 2011
Sumber: www.Setara-institute.org