Tanahair Indonesia Punya Siapa? Tinjauan Dua Buku Masalah Agraria (Bagian Satu) Tinjauan dua buku ini akan kita lakukan dengan akal-sehat saja, maksudnya kita bertanya dan dua buku itu menjawab. Bila jawaban itu kurang lengkap atau tidak tersedia sama sekali, maka kita akan mengambil dari sumber lain. Penanya kita beri tanda TA, sedang jawaban kedua buku kita beritanda masing-masing MA dan RA. Keterangan dari sumber lain kita tandai dengan CF. MA merupakan singkatan Masalah Agraria, karya Mochammad Tauchid; RA singkatan Reforma Agraria karya Gunawan Wiradi. Semua jawaban diberi rujukan dalam tanda [ ] yang berisi nomor halaman MA atau RA, dan data secukupnya mengenai CF. Namun sebelum tanya-jawab itu kita mulai, perlu kita cantumkan lagi sejumlah data singkat mengenai masing-masing buku yang akan kita tinjau itu. Mochammad Tauchid, MasalahAgraria: Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia (Djakarta:Tjakrawala, 1952/ Yogyakarta: PEWARTA, 2007), xxviii + 609 halaman; Ir. GunawanWiradi, M.Soc. Sc., Reforma Agraria: Dari Desa ke Agenda Bangsa (Dari Ngandagan, Jawa Tengah sampai Porto Alegre, Brazil) (Bogor:IPB Press, 2009), xiii + 38 + 101 halaman. Buku MasalahAgraria (MA) merangkum keterangan yang cukup rinci tentangsoal agraria di negeri kita sejak masa kerajaan lama hingga awal kemerdekaanRI. Reforma Agraria (RA) memberi paparan umum historis danteoretis masalah agraria di Indonesia, dan juga seluruh dunia, sejak zaman kunohingga awal Abad ke-XXI. Penulis MA, Mochammad Tauchid (1914-1981) merupakan seorang pendiri bangsa (kader PNI-Baru dan anggota kelompok bawah-tanah Syahrir), pejuang kemerdekaan (anggota BP-KNIP), pemimpin gerakan tani (pendiri BTI – Barisan Tani Indonesia), pejabat negara (anggota DPR), dan pendidik (anggota Majelis Luhur Tamansiswa). Penulis RA, Gunawan Wiradi (1932 - ), seorang pelengkap penderita perang kemerdekaan (pengungsi ke luar kota Solo), pejuang kemerdekaan (anggota TP – Tentara Pelajar), pegiat kepemudaan (anggotaYOAN – Youth of All Nations), dan pegiat kemahasiswaan (anggota Panitia Persiapan Konferensi Mahasiswa Asia-Afrika, anggota Tim Penulis tentang IrianBarat), pendidik (di SMA di IPB – Institut Pertanian Bogor), peneliti masalahagraria, dan penerima gelar Doktor Honoris Causa dari IPB dalam bidangsosiologi pedesaan dengan fokus kajian Agraria, 28 Mei 2009. Tanya-jawab T: Masalah agraria ituapa sih? MA: Masalah agraria ‘adalah persoalan hidup Rakyat Indonesia.’ ‘Soal agraria (soal tanah) adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah sumber makanan.’ [xxvii, 3] RA: ‘Sesungguhnyalah masalah agraria, khususnya RA, bukanlah masalah sederhana melainkan rumit, kompleks dan sukar karena menyangkut berbagai aspek kehidupan.’ [4] TA: Memang rumit kalau begitu, tapi kenapa rumit? MA: Yah, karena ‘perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk itu orang rela menumpahkan darah [...]’ Jadi ‘soal tanah adalah soal hidup, soal darah yangmenghidupi segenap manusia.’ Makanya ‘Siapa Menguasai Tanah, Ia Menguasai Makanan.’[3] RA: Juga karena sejak dulu, ‘apalagi sejak selesainya Perang Dunia ke-II’ masalah agraria ‘selalu dikaitkan [...]dengan isu serupa namun tak sama, yaitu isu kemiskinan.” Masalah kemiskinan kan teramat rumit! [4] TA: ‘Siapa Menguasai Tanah, IaMenguasai Makanan’. Siapa yang menguasai tanah kita, Tanah Indonesia? MA: Sebelum penjajahan, ‘pada zaman kekuasaan raja-raja, hukum tanah berdasar sistem feodalisme ..., yang dasarnya: Tanah adalah milik raja [...]. Rakyat adalah milik raja juga.’ Di kerajaan Mataram, sekarang Surakarta dan Yogyakarta, tanah ‘adalah kepunyaan Sultan dan Sunan (kagungan dalem)’. Rakyat hanya pemaro dan statusnya peminjam (wewenang anggaduh). [13]. ‘Masyarkat feodalisme merupakan perbudakan dalam ekonomi, politik, dan sosial.’ [14]. TA: Berdasarkan sistem feodalisme? Ini mencengangkan karena negeri-negeri maju sekarang ini, seperti Eropa, jugaJepang, bertolak dari feodalisme, di mana penguasa tanah berusaha keras mengelola tanah dan penghuninya seproduktif mungkin. Kalau betul dulu punya feodalisme, mengapa negeri kita terpuruk hingga sekarang? CF: Memang sistem yang jadi dasar hukum-tanah di Indonesia dulu mungkin bukan feodalisme seperti dikenal di Eropa, Jepang, atau Amerika. Seluruh penelitian selama 30 tahun lebih (1901-33) yang dilakukan oleh Cornelis van Vollenhoven (1874-1933), dedengkot penelitian ilmiah hukum adat itu, secara tak langsung telah menyanggah pendapat bahwa sistem hukum tanah di negeri kita berdasarkan feodalisme. Begitu kurang terikatnya hukum adat dengan tanah daripada dengan orang sehingga Vollenhovenmenegaskan bahwa hukum adat itu rechtsstam, jadi semacam keluarga hukum yang melampaui batas-batas Indonesia ke kawasan yang jauh lebih luas sejak dari Formosa (Taiwan) hingga Madagaskar. [Opstellen over Adatrecht,1901-1933, hlm. 569 ff; J.F. Holleman, ed., VanVollenhoven on Indonesian Adat Law (The Hague, MarinusNijhoff, 1981, hlm. xxx). MA: Untuk membedakannya dari feodalisme di Eropa, kita katakan saja ‘feodalisme lama’, sedang yang kemudian coba diterapkan oleh penjajah, ya ‘feodalisme baru’. [v, 18]. CF: Secara mudah feodalisme yang pernah ada di Eropa atau Jepang itu adalah sistem di mana “orang ikut tanah”, sedang di negeri kita “tanah ikut orang”. Penguasa memiliki tanah, dan karena itu ia menguasai orang yang hidup di sana. Di negeri kita penguasa memiliki orang, lalu orang itu diberi tanah untuk sumber hidupnya. ‘The social tie was strictlypersonal and in no way based on land’. Dalam sistem feodal, penguasa mengembangkan tanahnya agar makin banyak orang mau tinggal di sana. Di negeri kita dulu, penguasa menelantarkan tanahnya sehingga ia terpaksa bergantung pada orang-orang yang dikuasainya. [J.S. Furnivall, Netherlands India: AStudy of Plural Economy(Cambridge: The University Press, 1944),hlm. 13-4]. TA: ‘The land went with the people’,tanah ikut orang, bukan “the people went with the land”, orang ikut tanah. Ini ‘benar-benar tamsil yang bagus. Kira-kira mengapa di negeri kita yang berlaku adalah “the land went with the people”, tanah ikut orang? CF: Studi hukum-adat yang puluhan tahun itu juga memberi jawaban tidak langsung. Diperkirakan “tanah ikut orang” hanya mungkin tatkala persediaan lahan melimpah sedang penduduk tidak hanya sedikit tapi pemukiman pun kecil-kecil dan sering berpindah serta tersebar luas. Inilahyang mendorong terbentuknya tradisi desa asli di negeri kita. [HetAdatrecht van Nederlandsch-Indië, Vol. I (1918) hlm. 517 ff.]. TA: Bagaimana gambaran desa asli kita itu dalam kaitannya dengan masalah tanah? CF: Hasil studi Vollenhoven [DeIndonesier en zijn Grond, 1919] dapat disarikan sbb.: pemukiman penduduk yang kecil-kecil dan tersebar itu lambat laun menjadi masyarakat adat(gemeenschaft) yang menguasai tanah dan air di sekitarnya dan mengatur hak-hak anggotanya dalam memanfaatkan tanah-air tersebut. Hak yang paling dasar adalah mengerjakan sebidang tanah (ontginningsrecht).Hak ini berkembang mulai dari hak menikmati hasilnya semusim atau dua musim (genotrecht),lalu bisa lebih lama karena menyukai lahan tersebut (voorkeurrecht),dan hak mewariskannya karena sudah mengembangkannya lebih baik (bezitsrecht)[J.S. Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy (Cambridge:The University Press, 1944), hlm. 14]. TA: Tentu lambat-laun kerajaan puntimbul yang lebih mementingkan penguasaan orang daripada tanah. Bagaimana persisnya raja-raja itu dahulu membagi tanah berdasarkan kaidah “tanah ikutorang” itu? MA: Raja, khususnya di Jawa, membagi-bagitanah kepada pegawainya, lalu pegawai itu memberi upeti atau ‘bakti’ atau ‘bulubekti’ kepada raja, dan juga harus bekerja-bakti atau ‘janggolan, kuduran’ kepadaraja. Untuk meringankan beban upeti, pegawai raja sering menambah orang sebanyak-banyaknya di tanah-jabatannya dengan memilah-milah tanah dalam kaplinglebi kecil untuk setiap orang. ‘Dan hal ini berakibat pengecilan (versnippering)tanah garapan rakyat.’ Semua ini berakibat penindasan pengawai raja ‘dari yangpaling atas sampai yang paling bawah’ atas nama raja. Penggarap pun makin menderita. [14-5]. RA: Tamsil “tanah ikut orang itu” jelas berlaku di kawasan Surakarta. Di sana anak kecil pun tahu apa yang dimaksud dengan ‘tanah gogolan’. Gogol itu adalah petani yang bayar pajak sehingga tanah boleh ia punya, bukannya punya tanah dulu lalu bayar pajak. [44]. RC: “Tanah ikut orang” itu jelas juga terpantul pada gelar-gelar lama pejabat daerah di Jawa seperti panèwu (1.000), panatus (100), panèket (50), penglawé (25).Angka-angka itu bukan menunjuk luas tanah melainkan jumlah prajurit yang dapat dikerahkan oleh seseorang kalau diminta oleh raja. Berdasarkan jumlah prajurit itulah tanah diberikan kepada pejabat. Tanah pun diukur dengan panjang lembing(tumbak). Satu tumbak kira-kira hampir samadengan 1.000 meter per segi. [Peter Carey, The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and theend of an old order in Java, 1785-1855 (Leiden:KITLV Press,2008) hlm. 8]. TA: Kerajaan tentu tidah hanya ada dinegeri kita. Ada bandingan dengan negeri lain? RA: Ada, malah mengenai landreform yang pertama di dunia. Dalam Perang Troya yang terkenal itu (1194-1183 SM), bangsa Hellas (Yunani) memang, tapi mereka kehilangan balatentara mereka, lenyap ditelan laut ketika mau kembali ke Athena dan Sparta. Kekuatan Yunani merosot sehingga akhirnya dengan mudah dikuasai oleh bangsa Dorian dari sebelah utara. Penguasa baru itu menghitung penduduk desa, lantas membagi dua sama banyak. Yang separo dijadikan budak dan tanahnya disita, dan diserahkan kepada pendatang, khususnya orang Dorian tentu saja. Perbudakan ini tersebar kemana-mana, juga ke Athena. Karena beban pajak yang berat petani kecil menggadaikan tanah mereka lalu menjadi penggarap bagi-hasil (penyakap) nyaris sama dengan budak mereka. Tanda-tanda pemberontakan makin jelas sehingga sekitar 594 SM, Solon, penguasa Athena berencana melakukan reformaagraria (RA). Namun ia ragu mana duluan dilakukan, demokrasi atau RA. Demokrasi butuh biaya, yang hanya bisa diharapkan dari petani kaya,jadi RA harus ditunda. Jika RA duluan, sumber dana pemerintah bakal hilang.Solon mau menguntungkan kedua pihak: status budak dihilangkan dan utang merekadi-“puso”-kan, tapi tanah tidak dikembalikan. Hasilnya eks-budak resah, petanikaya pun resah. Solon gagal. Penggantinya, Pisistratus, yang otoriter, pada 564SM mendahulukan RA dengan semboyan “tanah untuk penggarap” (land-to-thetillers). Peristiwa ini dianggap sebagai “land reform” yang pertamadi dunia. [14-5].■ (Parakitri T. Simbolon, Sabtu, 7November 2009, Tanahair Indonesia Punya Siapa? Tinjauan Dua Buku Masalah Agraria (Bagian Dua) TA: Kaidah land-to-thetillers, tanah untuk penggarap, sebagai prinsip RA alias landreform, sudah berlaku pada 564 SM, jadi 2.573 tahun yanglalu nun jauh di negeri Yunani, berkat jasa seorang raja yang otoriter pula?Bukan main! Tolong cerita dong apa yang dilakukan oleh raja yang pernah ada dinegeri kita dulu yang berkaitan dengan masalah tanah? MA: [Mungkin yang paling terkenal di antara kerajaan-kerajaan yang pernah ada di negeri kita adalah yang di Surakarta dan Yogyakarta.] Kehadirannya hingga ke abad keduapuluh tetap diakui oleh penjajah sehingga dua daerah itu disebut “Daerah-daerah Kerajaan” atau Vorstenlanden [hlm.69]. Berbeda dengan zaman berlakunya hukum adat tatkala tanah dikuasai oleh rakyat atau masyarakat adat, di zaman kerajaan ‘”raja adalah pemilik tanah yang tidak terbatas”, sedang rakyat adalah pemaro (deelbouwer)... tanah kepunyaan raja. Di samping harus menyerahkan separuh ... hasil tanah yang dikerjakan itu, rakyat harus juga menyerahkan tenaga dengan tiada bayaran sebagai kewajiban herendienst (rodi) [kepadaraja].’ [69]. TA: Apakah raja-raja di Jawa tengahberhubungan langsung dengan rakyat pemaro itu? MA: [Sayang tidak, sebab seandainya ya, ituberarti akan lebih mirip feodalisme seperti yang di Eropa atau Jepang. Yang berlaku pun adalah kaidah “orang ikut tanah”, bukannya “tanah ikut orang” yang menimbulkan “feodalisme seolah-olah” di negeri kita]. ‘Tanah itu oleh raja ...dibagi-bagikan kepada kaum keluarganya atau pegawainya yang mendapat kepercayaan [raja] yang dinamakan Patuh (apanagehouder). Dengan [demikian]berpindahlah hak-hak [...] raja [de]facto ke tangan Patuh, dan raja tidak langsung menguasai tanahnya itu.’ [69]. ‘Dalam menjalankan kewajibannya itu Patuh membagikan tanah-tanah itu kepada pegawai[nya]yang dinamakan “Bekel” ..., yang [bertugas] menjaga agar rakyat [menunaikan]kewajibannya [...]. Bekel tidak mendapat gaji, melainkan [sebidang] tanah “lungguh”(... bengkok) [sebesar] 1/5 ... luas tanah [yang dibagikan]. Sisanya ... yang4/5 [...] dikerjakan oleh penduduk dengan maro [...].’ [69-70]. TA: Bagaimana dengan raja-raja di daerahlain di negeri kita? CF: Sultan Iskandar Muda di Aceh (bertakhta 1607-1636) berjaya dengan menyewakan tanah, bukan membagikannya kepada keluarga dan pegawainya lalu menerima upeti. ‘”Setiap tahun [sultan]mengumpulkan sejumlah besar beras dari tanah-tanah yang tunduk kepadanya ...;tanah itu disewakannya kepada hambanya yang harus menjamin untuk [dia] sejumlah beras, [tak perduli] apakah panennya berhasil atau tidak, dan begitu pandai ia memperhitungkan [besarnya] hasil tanah itu ..., [sehingga] mereka tak sempat berleha-leha dalam mencari makan dan membayar sewa kepada raja.”’ [DenysLombard, Kerajaan Aceh: Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636),Jakarta: Balai Pustaka 1991, hlm. 97]. CF: Di Sumatera Timur sekitar pertengahan abad kesembilanbelas, masyarakat Deli masih merupakan peladang berpindah sehingga belum timbul masalah hak pemilikan tanah. Tidak lama setelah Jacobus Nienhuys tiba di Labuan, Deli, 6 Juli 1863, ia samasekali tidak mendapat kesulitan mendapat “izin” dari “sultan” Deli untuk menggunakan lahan75-150 hektar buat percobaan menanam tembakau selama 99 tahun. [Karl J.Pelzer, Planter and Peasant: Colonial Policy and the Agrarian Struggle in EastSumatra, 1863-1947 (‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff 1978),hlm. 32-3, 36]. “Izin” dan “sultan” sebenarnya hanya kata-kata kosong, karena lahan begitu berlimpah sehingga tidak perlu izin bagi barangsiapa yang mau menggarap sebidang tanah; dan sultan tidak punya kekuasaan karena penduduk Deli waktu itu tidak lebih daripada 2.000 jiwa yang tinggal tersembunyi ditengah hutan. Makanya Nienhuys tidak perlu bayar sewa, melainkan hanya bea ekspor tembakau sebesar 50 sen dolar Straits per pikul (60 kg). Yang sulit justru mendapatkan tenagakerja untuk bertani. Penduduk setempat enggan bertani di tempat yang sama berlama-lama dan harus bekerja setiap hari. Mereka lebih suka bertani berpindah-pindah. Nienhuys terpaksa mendatangkan kuli Tionghoa dari semenanjung Melayu. [Ibid. hlm. 34]. TA: Apa yang terjadi dengan pola “feodalisme seolah-olah” itu bila raja di Jawa tengah tiba-tiba memerlukan biaya besar dalam pemerintahannya? CF: Pada dasawarsa pertama abad kesembilanbelas, misalnya, Hamengkubuwana II melancarkan dua kali ‘revisi fiskal’ untuk menaikkan pendapatannya yang berasal dari pajak tanah (pajeg). Politik fiskal yang baru itu dikenal dengan ‘pancas’, yang secara harfiah berarti ‘potong’ atau ‘papas’. Maksudnya, sultan menciutkan satuan ukuran luas (jung) tanah-jabatan yang dikuasai oleh para Patuh, namun jumlah pajak yang harus dibayar nyaris sama besarnya. Sejak itu ukuran jung Yogya jauh lebih kecil daripada ukuran jung Surakarta. Lahan seluas 80 jung Yogya, misalnya, jadi sama luasnya dengan 64,25 jung Surakarta. Dengan demikian Yogya seolah-olah menciptakan 20 persen tanah-jabatan baru dengan sekitar 10.000 cacah baru,dan 20.000 ronde real pendapatan tambahan dari pajak tanah. Itu berarti beban pajak yang makin berat. Satu jung Yogya = hampir 70 meter persegi setelah ‘papas’ dilaksanakan; cacah = satu keluarga petani yang terdiri dari lima anggota yang bekerja; tanah-jabatan biasanya diukur dengan jumlah cacah yang ada di dalamnya; rondereal adalah matauang yang terbuat dari perak dan dikenal juga sebagai ‘uang batu’; satu ronde real = rata-rata 2,5 gulden Hindia-Belanda (bervariasi menurut kadar perak di dalamnya). [Peter Carey, ThePower of Prophecy: Prince Dipanagara and the end of an old order in Java,1785-1855 (Leiden: KITLV Press, 2008) hlm. 60-66]. TA: Bagaimana pemerintah jajahan menghadapi MA ini, yang kaidah utamanya “tanah ikut orang” itu? MA: [Pada dasarnya sikap pemerintah jajahan, kecuali Jepang, sangat ragu, mendua, sehingga penguasaan tanah sering berdasarkan ‘vested interest”]. ‘Penaklukan raja-raja oleh Belanda, sejakzaman Kumpeni (VOC) berarti perampasan ... kekuasaan raja. Kekuasaan raja itu ditafsirkan menurut kepentingan dan tujuan politiknya disini’. [15-6]. ‘Tiapkali VOC menguasai suatu wilayah, pola penguasaan raja atas tanah praktis dilanjutkan. Tatkala pemerintah jajahan setelah VOC bubar terdesak kebutuhan uang, tanah dijual kepada seseorang lengkap dengan kekuasaan atas penduduk yang ada di dalamnya. Timbullah apa yang dikenal dengan ‘tanah partikelir’. Tatkala Inggris merebut negeri kita dari Belanda, pola penguasaan raja atas tanah diganti dengan pemberlakuan ‘sewa tanah (landrente) ’yang harus dibayar oleh petaninya. Sesudah Inggris menyerahkan negeri kita kembali kepada Belanda, pola ‘sewa tanah (landrente)’ diganti dengan ‘”Cultuurstelsel”yang terkenal sebagai malapetaka bagi rakyat Indonesia’. [17] ‘Berlakunya cultuurstelsel meneruskan prinsip [landrente]. Hanya bedanya, [...] [pemerintah jajahan] tidak menarik sewa tanah, melainkan mengambil 1/5 tanah yang dikerjakan [oleh] rakyat (dipilih yang baik). Di atas tanah itu ditanami ... tanaman [...] yang akan menghasilkan bahan ekspor yang berharga tinggi di Eropa. [...] tanah itu disuruh kerjakan [oleh] rakyat [tanpa] bayaran.’ [17-8]. Tatkala Belanda memasuki zaman liberalisme, penguasaan tanah di negeri kita ditata ‘untuk kepentingan ... modal partikelir, terutama modal pertikelir Belanda. ’Penataan itu terkenal sebagai ‘”Agrarische Wet” [yang dicanangkan pada] 9 April 1870.’ Landasannya terkenal sebagai ‘”Domeinverklaring”[...] [yang] berbunyi: “Semua tanah yang tidak ternyata memiliki hak eigendom, adalah kepunyaan negeri”.’ Maksudnya, semua tanah yang jelas tidak dikuasai berdasar hak pemilikan lain, merupakan tanah negara. [19]. CF: ‘[The] Agrarian Law of 1870 ... gavefreedom and security for private enterprise, without raising thequestion of native tenures.’ Agrarische Wet memberi kebebasan kepada perusahaan swasta, tanpa membenahi hak-hak rakyat jajahan atas tanah. [J.S.Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy (Cambridge:The University Press, 1944), hlm. 165]. TA: Tanpa membenahi hak-hak rakyat jajahan atas tanah? Apa maksudnya? MA: ‘Cara pemerasan langsung oleh kekuasaan Pemerintah Kolonial [seperti Tanam Paksa] dipandang tidak sesuai lagi dengan zaman yang sopan. [Namun mengenai jalan keluarnya] di Negeri Belanda sendiri timbul dua aliran [:Liberal dan Konservatif. Liberal menghendaki pemerintah membiarkan modal swasta bebas menjalankan perekonomian. Konservatif menganggap pemerintah tetap perlu mengendalikan perekonomian. Hak rakyat atas tanah praktis jadi persoalan sampingan]. [hlm. 18-19]. CF: Akhirnya aliran Liberal atau Konservatif tidak bisa menang, tapi sama-sama harus tunduk pada semangat perkembangan kapitalisme. Hal ini jelas terlihat pada kenyataan bahwa AgrarischeWet itu bukan hasil rumusan aliran Liberal, sebagaimana mungkin diharapkan, tapi Konservatif, sebagaimana mungkin tidak diharapkan, setelah melalui perdebatan sengit yang sangat lama. [Parakitri T.Simbolon, Menjadi Indonesia (Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 1995/2007), hlm. 142-8]. TA: Menarik. Bagaimana ceritanya? CF: Persoalan hak rakyat versus hak raja atas tanah kebetulan merupakan salah satu persoalan utama dalam perkembangan kapitalisme yang mulai memuncak dengan Revolusi Industri di Eropa pertengahan abad kesembilan belas. Puncak tersebut dengan sangat gemilang dilambangkan dalam pembukaan The Great Exhibition di London,1 Mei 1851. Sebagai gejala sosial, Revolusi Industri itu dikenal sebagai The Age of Progress [S.C. Burchell etal., Age of Progress (Time-Life Internasional Nederland B.V., 1967)]. Dengan demikian, persoalan tanah di negeri kita mau-tidak-mau menjadi persoalan seluruh dunia, tidak hanya persoalan golongan Liberal atau Konservatif di Belanda. TA: Lantas? CF: Lantas semangat Liberal yang berimpit dengan semangat kapitalisme itu bangkit melawan kekuasaan negara. Di Belanda, menurut J.S. Furnivall, perlawanan itu bergerak dalam tiga tahap: 1.Oposisi terhadap Raja; 2. Oposisi terhadap Penguasa Kolonial; 3. Kemenangan Liberalisme. [J.S. Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy (Cambridge:The University Press, 1944), hlm. 148]. Jelaskan bahwa dalam proses ini tidak terdapat “Kemenangan Rakyat” kendati golongan Liberal senantiasa berpikir, berbicara, dan bertindak atas nama rakyat? TA: Hal ini terdengar seperti sedang terjadi sekarang ini. Bagaimana jalan ceritanya dulu? CF: Jalan ceritanya seru sepertinovel-novel “suspense”. Karena itu cerita ini akan kita hidangkan dalam tulisan tersendiri. TA: Tentu cerita itu seru karena serunya persoalan tanah di negeri kita. Adakah ungkapan pemerintah jajahan yang menunjukkan betapa hebatnya peranan tanah dalam kelangsungan kekuasaannya? MA: Ada! ‘Sebagai dikatakan [olehgubernur-jenderal, 1833-36 dan menteri jajahan, 1840-48, J.C.] Baud: ”Java was de kruk, waarop Nederland dreef”.’ Jawa merupakan pelampung yang membuat Belanda dapat mengapung. ‘Bagi Belanda [...], kekayaan Indonesia ... betul-betul merupakan sumber kekayaan, [se]hingga 15% ...penghasilan nasional Negeri Belanda [berasal] dari Indonesia [...].’ [hlm. 11].■ (Parakitri T. Simbolon , Selasa 8 Desember 2009). Tanahair Indonesia Punya Siapa? Tinjauan Dua Buku Masalah Agraria (Bagian Tiga) TA: Bagian Dua kita akhiri dengan mengatakan bahwa Golongan Liberal dan Golongan Konservatif di Nederland bertarung sengit dalam rancangan Agrarische Wet 1870. Ternyata keduanya gagal. Yang menang adalah modal, kapitalisme. Konon ceritanya seru seperti novel suspense. Bisa diceritakan sekarang? MA: Tak sempat masuk ke cerita itu, tapi ringkasannya bisa saja. ‘Rencana Cultuurwet Fransen van de Putte(Menteri Jajahan) pada tahun 1866 untuk mengubah hukum agraria di Indonesia, tidak diterima oleh Parlemen.’ [19]. Rencana itu ‘agar semua tanah belukar[terlantar] (woeste gronden) dijual saja kepada orang-orang pertikelir[...] sedang rakyat Indonesia diberi hak agraris eigendom atastanahnya.’ [19]. Baru pada tahun 1870, rancangan [Engelbertus] de Waal (MenteriJajahan) [...] [diterima dan mulai berlaku sebagai] AgrarischeWet (biasa dikatakan wet de Waal) 9 April 1870 [...]’ [19]. TA: Kok belum terasa suspense-nya? CF: Suspense akan mulai terasa bila diberitahu kedudukan Fransen van de Putte dan Engelbertus de Waal dalam pusaran aliran politik liberalisme dan konservatif itu di Nederland. TA: Aliran atau partai? CF: Aliran (stromingen)! Juga aliran dalam aliran. Waktu itu belum ada partai politik di sana. Baru menjelang akhir abad ke-19 ada partai politik, itu pun baru lokal. Di tingkat nasional baru ada sesudah 1917. Mula-mula hanya ada dua aliran: liberal dan konservatif. Kemudian mucul aliran ketiga: anti-revolusioner, yang sebenarnya merupakan golongan-golongan agama (confessionelen). Golongan-golongan agama ini menjadi aliran dalam aliran. Golongan Katolik, misalnya, sering kerjasama dengan aliran liberal melawan golongan Protestan demi kebebasan beragama, tapi golongan Kaktolik dan Protestan bekerjasama melawan aliran liberal yang dianggap anti-agama. TA: Lantas bagaimana kedudukan van dePutte dan de Waal dalam pusaran aliran itu. CF: Isaäc Dignus Fransen van de Putte(1822-1902) termasuk ke dalam aliran liberal yang kehadirannya pada 1848 dipelopori dan organisasi politiknya sejak 1849 dipimpin oleh Johan Rudolf Thorbecke (1798-1872). Namun, sementara liberalisme Thorbecke bersifat ideologis, liberalisme van de Putte bersifat praktis. Maklum, Thorbecke gurubesar hukum dan perancang UUD (konstitusi) Nederland 1848 yang liberal, sedangkan van de Putte veteran pelaut dan industrialis gula di Jawa Timur. Keduanya akhirnya bertentangan keras mengenai banyak hal, seperti KUHP (KitabUndang-undang Hukum Pidana) dan RUU (Rencana Undang-Undang) Agraria untuk Hindia-Belanda. Pertentangan tentang KUHP untuk Hindia-Belanda terjadi malahketika dua-duanya masih sama-sama menjabat menteri dalam Kabinet Thorbecke II (1862-1866). [J.S. Furnivall, Netherlands India: AStudy of Plural Economy(Cambridge: The University Press, 1944),hlm. 161-2]. TA: Nah, baru mulai terasa suspense-nya. Lantas kedudukan de Waal? CF: Engelbertus de Waal (1821-1905) menjadi Menteri Jajahan dalam Kabinet van Bosse/Fock (1868-1871) yang beraliran liberal. Kabinet itu dibentuk oleh Thorbecke, tapi ia tidak ikut duduk sebagai menteri. Meski anggota kabinet yang beraliran liberal, de Waal sering dianggap bersikap konservatif. [J.S. Furnivall, op.cit., hlm. 164]. Yang pasti, deWaal belajar dari beberapa kali kegagalan RUU Agraria, lalu secara diplomatis menyesuaikan rancangan baru dengan kekuatan politik aliran yang ada sampai rancangan baru itu diterima oleh parlemen dan mulai berlaku pada 9 April 1870. TA: Jadi rancangan AgrarischeWet itu tidak terbentuk dalam sekali pukul? CF: Tidak samasekali! Mari kita mulai dengan peranan van de Putte pada 1860. Tahun ini ia mengeluarkan brosur-brosur, seperti Regeling der Suikercontracten op Java, pengaturan kontrak gula di Jawa, yang antara lain menegaskan bahwa serangan selama 10 tahun terakhir terhadap inefisiensi Tanam Paksa sudah gagal. Yang harus dilakukan adalah menuntut agar semua praktek Tanam Paksa dihentikan. Sebagai gantinya adalah masa baru yang memberikan perusahaan swasta kebebasan mendapatkan tanah dan tenaga kerja, termasuk di Hindia-Belanda. Gagasan alternatif ini rupanya begitu jernih dan menarik sebagai perogram pokok perjuangan politik sehingga seperti ditegaskan oleh Furnivall, ‘liberalism was no longer merely a movement,it had become a power’. Liberalisme tidak lagi sekedar gerakan, ia telah berobah jadi kekuatan. Van de Putte juga beruntung karena waktu itu Nederland, bahkan seluruh Eropa, gempar karena terbitnya MaxHavelaar karya Eduard Douwes Dekker alias Multatuli. Tentang ini Furnivall juga menegaskan, ‘The chief significance of van de Putte andDekker was that they furnished the Liberals with a leader and a war-cry’. Nilaiutama van de Putte dan Dekker adalah bahwa mereka memperlengkapi aliran liberal dengan pemimpin dan pekikan tempur. [J.S. Furnivall, ibid.]. TA: Lantas apa yang dilakukan oleh vande Putte? CF: Pada 1 Februari 1862 Thorbecke membentuk kabinetnya yang ke-2, sedang Isaäc Dignus Fransen van de Putte masih anggota parlemen (Tweede Kamer). Menteri Jajahan,Gerhard Hendrik Uhlenbeek, segera mengajukan RUU Agraria: Bumiputra diberi izin menyewakan tanah mereka kepada swasta, dan mereka berhak menjadi tenaga kerja diperusahaan swasta tersebut. RUU ini dianggap sepi oleh parlemen. Lalu pada Desember tahun itu parlemen (Eerste Kamer) menolak rencana anggaran daerah jajahan yang diajukan oleh Uhlenbeek, sehingga ia mengundurkan diri dari jabatannya. Penggantinya pun, Gerardus Henri Betz, hanya bertahan sebulan. Thorbecke lantas meminta Isaäc Dignus Fransen van de Putte menjadi Menteri Jajahan. Menurut Furnivall, ‘ini kesalahan fatal’. [J.S.Furnivall, ibid.]. Sebagai seorang usahawan rupanya ia belum terbiasa dengan permainan politik. Ia mengira kebijakan-kebijakan yang ia usulkan pasti diterima kalau rancangannya rapi dan tujuannya baik. Ia tidak perduli bahwa Thorbecke makin curiga bahwa dia bersama golongan muda sedang merebut kepemimpinan aliran liberal dari tangan Thorbecke. Persengketaan mereka memuncak ketika timbul masalah pemberlakuan KUHP untuk Hindia-Belanda. Thorbecke berpendirian bahwa pemberlakuan itu harus dengan UU. Van de Putte menyatakan cukup dengan keputusan Raja saja. Akibatnya Thorbecke mengundurkan diri, dan kabinetnya resmi bubar pada 10 Februari 1866. TA: Lantas selesai urusan dengan van dePutte? CF: Belum! Ia malah membentuk kabinetnya sendiri (10 Februari 1866 – 1 Juni 1866). Ia tetap sebagai Menteri Jajahan. Segera ia mengajukan RUU Agraria yang baru untuk Hindia-Belanda: Hak Bumi putra atas tanahnya berdasarkan hukum adat diganti dengan hak-milik (eigendom) berdasarkan hukum perdata (Barat). Hak ini tidak boleh dialihkan (vervreemd)mau pun diagunkan (verhypothekeerd), tapi boleh disewakan. [Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia (Jakarta: PenerbitBuku Kompas: 2007, cetakan ke-3), hlm. 155-7]. TA: Berhasilkah dia dengan rancangannyaitu? CF: Tidak! Kabinetnya justru jatuh karena rancangan itu. Sebabnya, Thorbecke balas memukul. Peselisihan mereka begitu seru rupayanya sehingga golongan masing-masing terkenal dengan Thorbeckianen dan Puttianen. Bersama delapan pendukungnya di parlemen (Tweede Kamer), antara lain A.S. vanNierop (1813-1878) dan Karel Arnoldus Poortman (1808-1886),Thorbecke menggagalkan rancangan van de Putte. TA: Bagaimana Thorbeckianen merumuskanargumen mereka? CF: Begini. Pertama-tama Thorbecke sendiri dalam kalangan sendiri sering mengajukan keberatan pokok terhadap RUU van de Putte: Kelemahan utama RUU ituadalah ‘de verandering van onvervreemdbaar bezit in weldra vervreemdbareeigendom’, mengubah milik yang tak-teralihkan jadi hak-milik yang sontak teralihkan. Para Thorbeckianen memahami keberatan ini. Oleh karena itu mereka mengambil prakarsa untuk menghambat RUU itu dengan amendemen. Maka tampillah Amendemen Nierop: Hak Bumiputra atas tanah merekasejak dulu sudah dijamin (gewaarborgd). Jika RUU van de Puttediterima, maka hak ini menjadi tak jelas. Oleh karena itu perlu masa persiapan barang lima tahun untuk dapat memutuskan siapa yang layak diberikan hak eigendom itu.[Parakitri T. Simbolon, ibid]. TA: Bagaimana nasib Amendemen Nieropitu? CF: Tidak lolos. Makanya diajukanlah Amendemen Poortman: UU Agraria yang layak untuk Hindia-Belanda adalah yang menjamin hak-guna atas tanah berdasarkan usaha pribadi Bumiputra mau pun berdasarkan warisannya sesuai dengan hukum-adat masyarakatnya. [Parakitri T.Simbolon, ibid]. TA: Apakah amendemen ini lolos? CF: Betul. Lolos 43 lawan 28 suara. [dbnl – digitalebibliotheek voor nederlandse letteren]. Yang mendukung amendemenitu makin luas, tidak hanya golongan konservatif dan agama, tapi juga golongan liberal. Kabinet van de Putte bubar pada 1 Juni 1866, setelah berkuasa lima bulan kurang! [Parakitri T. Simbolon, ibid.]. TA: Peristiwa tadi timbul pada akhir Mei 1866, sedang UU Agraria (Agrarische Wet) dinyatakan berlaku 9April 1870. Apa yang terjadi selama empat tahun itu? CF: Ada dua kabinet selama itu: Kabinet Van Zuylen/Van Nijevelt yang konservatif (1 Juni 1866 – 4 Juni 1868); dan Kabinet van Bosse/Fock yang liberal (4 Juni 1868 – 4 Januari 1871). Yang tersebut pertama merupakan kabinet minoritas, jadi yang terbentuk hanya karena yang mayoritas di parlemen, yaitu aliran liberal, terpecah sehingga tidak mampu memerintah. Makanya kabinet ini dua kali dijatuhkan oleh parlemen, tapi Raja dua kali membubarkan parlemen dan dua kali juga meminta pemilihan umum diadakan. Hasilnya tetap sama: konservatif minotiras, liberal mayoritas, namunRaja tetap minta yang minoritas memerintah. Sejauh menyangkut RUU Agraria,kabinet ini memilih memperkuat Amendemen Poortman. Baru kabinet tersebut kedua,yang liberal, berhasil meloloskan UU Agraria (Agrarische Wet)pada 9 April 1870. TA: Apa maksudnya memperkuat AmendemenPoortman? CF: Mencali jalan agar terbentuknya UUAgraria (Agrarische Wet) tertunda selama mungkin, tapi tanpa bisadituduh menghambatnya. Itulah keahlian Menteri Jajahan dalam Kabinet VanZuylen/Van Nijevelt, Pieter Mijer (1812-1881), tokoh kelahiran Batavia itu. TA: Caranya? CF: Caranya dengan memberi kesanmembela hak-guna tanah (grondgebruik) dan hak-milik tanah (grondbezit)Bumiputra berdasarkan hukum adatnya. Bukankah hal itu yang ditekankan dalamAmendemen Poortman, dan ‘diabaikan’ dalam RUU van de Putte? Mijer menempuh dualangkah untuk itu. Pertama, ia suruh Gubernur-JenderalLudolf A.J.W. Baron Sloet van de Beele (menjabat 1861-1866) mengumumkankeputusan Raja untuk menjamin hak Bumiputra atas tanah berdasarkan hukum-adatdan akan diadakan penelitian mengenai hal itu. Kedua, iasendiri menjadi gubernur-jenderal (1866-1872) setelah menjadi menteri jajahanhanya selama beberapa bulan. Peralihan jabatannya ini sempat membuat kabinetkonservatifnya bubar, namun ia sempat juga mendorong penelitian hukum-adat diHindia-Belanda mengenai hak pemilikan tanah sejak 10 Juni 1867 hingga 1914.[Parakitri T. Simbolon, op.cit., hlm. 157]. TA: Apa hasil penilitian hukum adatmengenai hak pemilikan tanah itu? CF: Pada 1871, telah keluar ikhtisarhukum adat untuk daerah Banten, tapi baru pada 1896 penelitian selesai untukJawa-Madura. Pada 1872 penelitian serupa dimulai di luar Jawa-Madura dan pada1877 sudah selesai untuk sembilan masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap).Pada 1889 penelitian selesai untuk Bali, 1909 untuk Aceh dan tiga masyarakathukum adat lain. Baru pada 1914 seluruh hasil penelitian selesai disusun dalamapa yang dikenal sebagai ‘Bundel Khusus’ (Pandecten van het Adatrecht). Padapokoknya ada tiga macam hak pemilikan tanah Bumiputra itu: (1) hak pemilikanbersama oleh desa atau hak ulayat (beschikkingsrecht); (2) hak memunguthasil olahan sendiri dari tanah ulayat itu (genotsrecht); (3) hak istimewa atassebidang tanah bagi seseorang setelah ia lama mengolah tanah yang ia pilihsendiri (voorkeursrecht) itu. Hak tersebut terakhir ini bisaberkembang menuju hak-milik atas tanah secara adat (inlandsche bezitsrecht).Hak ini mirip dengan hak-milik menurut hukum perdata Barat (eigendom).[Parakitri T. Simbolon, op.cit., hlm. 157-8]. TA: Hasil penelitian inikah yang menjadidasar UU Agraria (Agrarische Wet) 9 April 1870? CF: Resminya tidak, karena belum adahasil penelitian itu. Semangatnya iya, karena menteri jajahan dalam Kabinet vanBosse/Fock yang liberal (4 Juni 1868 – 4 Januari 1871), Engelbertus de Waal(1821-1905), rada mirip dengan watak Pieter Mijer yang konservatif: mencarijalan tengah yang aman. Maksudnya, hak Bumipura, hak penguasa, dan hak modalsemua dibuat sejelas mungkin. Soal bisa timbul kemudian mengenai keadilan danlain-lain, tapi bukan karena patokan hukum yang kabur. TA: Bisa sekarang sebagai penutupdisarikan isi UU Agraria (Agrarische Wet) 9 April 1870 itu? CF: Seluruh makna perdebatan dan amandemenmengenai hak pemilikan tanah itu dirangkum dalam pasal satu yang dikenalsebagai pernyataan mengenai batas hak kerajaan (domeinsverklaring)."Seluruh tanah yang peruntukannya tidak ditentukan oleh hukum pemilikanlain, merupakan milik negara." (Alle grond waarop niet door andererecht van eigendom bewezen is, is domein van de staat). Itulahketentuan yang dapat dianggap mendasar, yakni hak negara atas tanah diNusantara baru ada setelah hak Bumiputra terjamin. Selanjutnya, negara berhakmenyewakan tanah miliknya itu untuk jangka panjang (erfpacht) tidaklebih daripada 75 tahun. Pemerintah harus mengusahakan agar tidakada pemindahan hak atas tanah yang sampai mengganggu hak Bumiputra atas tanahmilik mereka. Bumiputra boleh menyewakan (tapi tidak boleh menjual) tanahmiliknya kepada orang asing. Diberi kemungkinan kepada Bumiputra untukmemperoleh hak milik baru atas tanahnya (agrarisch eigendomsrecht). UU iniberlaku untuk seluruh Hindia-Belanda lewat peraturanpemerintah. [Parakitri T. Simbolon, op.cit., hlm.159-60].■ (Parakitri T. Simbolon, 10 Februari 2010). SUMBER :www.zamrudkatulistiwa.com |